OLEH: Ashhabul Yamin, S.Pd
(Pengajar Praktik Guru Penggerak Provinsi NTB)
"Setiap anak itu beda, setiap anak itu unik, perbedaan dan keunikan itulah yang akan menjadi keunggulan mereka kini dan kelak.”
Ashhabul Yamin, S.Pd |
Pendidik tak ubahnya seperti petani. Seorang petani yang menanam padi, maka ia akan merawat padi dengan kondisi dan karakteristik padi. Seorang petani yang menanam padi, maka ia tidak mungkin berharap akan memanen jagung. Pak Tani paham betul bagaimana cara membajak sawah sebagai persiapan lahannya, bagaimana cara menyemai benih sebagai persiapan tanamnya. Pak Tani paham betul bagaimana sistem pengairannya, kapan waktu dan berapa dosis pemupukannya.
Pak Tani juga paham betul aneka jenis hama seperti tikus, wereng, walang sangit, burung, dan jenis hama lainnya yang dapat mengganggu dan menghambat pertumbuhan dan perkembangan tanaman padinya. Pak Tani juga sangat memahami bahwa dalam perjalanannya, tidak semua tanaman padinya tumbuh dan berkembang sesuai dengan harapan. Boleh jadi karena faktor cuaca bahkan faktor gangguan hama seperti wereng, tikus, walang sangit, burung, dan lain sebagainya. Akan ada pada titik-titik tertentu dimana tanaman padinya mengalami perlambatan.
Jumlahnya memang minor, namun Pak Tani sadar betul bahwa ia harus melakukan treatment khusus untuk membantu padinya yang lambat tersebut agar segera mampu menyusul pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi lainnya. Rasa gembira ria Pak Tani bersama keluarga ketika melihat padinya sehat, berbuah lebat dan besar, dan mulai menguning. Hingga tiba saatnya Pak Tani sampai pada hari yang dinanti-nanti dimana Pak Tani akan memanen tanaman padinya. Akhirnya gabah yang berkualitas terbaik telah berada didepan mata dari hasil kerja keras, kesabaran, dan ketekunannya selama ini.
Dari ilustrasi Pak Tani di atas, semoga semakin menguatkan dan memberikan pemahaman kita bahwa pendidikan adalah ‘menuntun’. Menuntun anak didik sesuai dengan kodrat alam dan kodrat zamannya. Menuntun anak didik agar dapat mewujudkan keselamatan dan kebahagiaan di dalam hidupnya. Hal ini sesuai dengan untaian kalimat yang pernah disampaikan oleh Ali Bin Thalib, “Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka bukan hidup di zamanmu”.
Sesungguhnya anak didik yang datang ke sekolah, bukan seperti kertas kosong. Sejatinya mereka seperti kertas yang telah memiliki coretan-coretan, namun coretan tersebut masih buram dan samar. Coretan yang buram tersebut terdiri dari coretan positif dan negatif.
Lantas dimanakah esensi tugas pendidik di sekolah? Maka jawabannya adalah menerangkan coretan yang positif agar menjadi coretan positif yang terang benderang, dan dalam satu tarikan nafas menekan coretan-coretan negatif agar menjadi coretan yang tetap buram bahkan perlahan hilang seiring berjalannya waktu dalam tuntunan pendidikan yang dijalaninya, dan di saat yang bersamaan seiring semakin menguatnya coretan positif pada diri anak didik. Coretan-coretan yang saya maksud disini adalah ilustrasi dari sikap, ucapan, dan polah tingkah anak didik.
Setidaknya ada 3 (tiga) makna merdeka yang harus kita pahami bersama, yang pertama tidak hidup terperintah, yang kedua berdiri tegak karena kekuatan sendiri, dan yang ketiga cakap mengatur hidupnya dengan tertib. Ketiga makna merdeka tersebut adalah salah satu esensi kuat dalam merdeka belajar.
Pendidikan yang memerdekakan adalah ikhtiar menuntun anak didik menemukan jati dirinya sesuai dengan kodratnya. Dalam menempuh pendidikan, tugas pendidik adalah menghubungkan anak didik dengan dunia nyatanya yakni lingkungan masyarakatnya. Konsep ini sejatinya harus dipahami bahwa semakin tinggi anak mengenyam pendidikan, maka akan semakin tinggi tingkat pengabdiannya kepada lingkungan masyarakatnya.
Jika konsep sekolah sebagai penghubung antara anak dengan dunia nyatanya benar-benar dipahami dan dijalankan oleh para pendidik, maka anak didik akan memiliki orientasi kebutuhan terhadap pendidikan yang sedang dijalaninya. Selama anak didik tidak paham dan sadar kebermaknaan dan kebermanfaatan dari pendidikan yang ditempuhnya, maka selama itu juga anak didik akan belajar dalam keterpaksaan. Belajar dalam keterpaksaan tentu saja sangat kontrdiktif dengan konsep pendidikan yang memerdekakan.
Jika pendidik paham dan melaksanakan model pembelajaran yang berorientasi pada kebutuhan dunia nyata anak didik, maka dapat dipastikan anak didik akan merindu-rindukan momen dimana anak didik belajar bersama gurunya dalam suasana yang membahagiakan, penuh kebermanfaatan dan kebermakanaan dalam proses belajarnya.
Lantas bagaiman orientasi anak didk kita belajar hari ini? Sudahkah terhubung antara pembelajaran di kelas dengan dunia nyata mereka? Pernahkan mereka merindu-rindukan momen belajar bersama guru mereka?
Membuat anak didik rindu dengan gurunya hari ini bukanlah perkara mudah. Seorang guru harus benar-benar memahami esensi pendidikan yang memerdekakan. Seorang guru harus memiliki kesadaran dalam diri untuk terus menerus mengembangkan diri (self regulated learning). Membaca kembali filososfi Ki Hadjar Dewantara menjadi penting untuk dilakukan. Sentuhan sosio emosional harus dikedepankan, menguasai kemampuan bertanya yang mengukil kemampuan daya nalar anak didik dan menguasai model-model pembelajaran berbasis riset dan portofolio menjadi keniscayaan.
Pendidikan yang memerdekakan harusnya dipahami bahwa guru tidak boleh merasa benar dan hebat sendiri. Guru harus memahami bahwa anak didikpun berhak atas kebenaran tersebut. Konsep ini kemudian menjadi sebuah motivasi kuat untuk senantiasa melibatkan anak dalam membuat kesepakatan kelas. Kesepakatan kelas yang dibuat oleh guru dan anak didik dalam suasana demokrasi dan gotong royong akan membuat anak didik merasa memiliki dan tentu saja bertanggung jawab atas kesepakatan kelas tersebut.
Jika boleh saya mengutip wejangan seorang budayawan ternama Sujiwo Tedjo dalam sebuah acara talk show pada salah satu stasiun TV swasta, ia berkata “Bangsa ini terlalu banyak menikmati pagi, hingga lupa menikmati senja.” Menikmati senja yang ia maksud adalah merenung. Penulis merasa wejangan ini begitu menghujam alam bawah sadar. Benar adanya bahwa dalam konteks sebagai pendidik, seorang guru tidak boleh melupakan perenungan di setiap akhir sesi pembelajarannya.
Perenungan ini lebih kita kenal dengan istilah refleksi. Confosius pernah berkata, “Pembelajaran tanpa refleksi adalah kesia-siaan, refleksi tanpa pembelajaran berbahaya.” Mengajak anak didik berefleksi bersama di setiap akhir pembelajaran adalah sebuah keniscayaan. Refleksi ini bukan caci maki, namun ia adalah energi untuk guru senantiasa mengembangkan diri memperbaiki kualitas pembelajaran ke depanya.