OkeNews.net - Proses eksekusi terhadap kasus perdata nomor No. 915/Pdt.G/2019/PA.Sel tanggal 1 Oktober 2019 yang berlangsung di Kecego Desa Waringin Kecamatan Suralaga yang dilakukan Pengadilan Agama Selong Kabupaten Lombok Timur Provinsi NTB, Kamis (11/2/2021) berlangsung ricuh karena dianggap tidak prosedural.
Eksekusi tanah di Kecego Desa Waringin Ricuh |
Riki Riadi selaku kuasa hukum Inak Muhrim mengatakan, eksekusi putusan perkara nomor No. 915/Pdt.G/2019/PA.Sel tanggal 1 Oktober 2019 tadi pagi adalah eksekusi dari perdamaian antar ahli waris Loq Udin.
"Jadi, seharusnya putusan tersebut dieksekusi apabila ada klausul yang dilanggar atau perdamaian tersebut tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak yang berdamai," ujar Riki dalam rilisnya, Kamis (11/02/2021).
Akan tetapi yang jadi maslalah kata Riki, eksekusi tersebut mengeksekusi sebagian tanah yang dikuasai orang lain yang bukan pihak yang berdamai yaitu Inaq Muhrim dan kawan-kawan (dkk) yang merupakan keturunan Amaq Sahirim.
"Sedangkan Inaq Muhrim dkk ini sudah menguasai tanah lebih dari 50 tahun lamanya, bahkan pemohon eksekusi maupun tereksekusi (pihak yang berdamai tersebut) telah terbukti melakukan tindak pidana masuk ke tanah milik Inaq Muhrim dkk tersebut berdasar 2 putusan Pengadilan Negeri Selong tahun 2015 bahkan pernah dihukum masuk penjara kurang lebih 10 hari. Perlu dicatat, 2 putusan Pengadilan Negeri Selong yang berarti pihak yang berdamai adalah terpidana," tegasnya.
Jadi menurut Riki, sangat aneh Pengadilan Agama mengeksekusi tanah yang dikuasai pihak ketiga (Inaq Muhrim dkk) yang bukan pihak dalam perkara. Oleh sebab itu ia menegaskan, hal ini perlu menjadi perhatian penting dan ditindaklanjuti pengadilan Tinggi Agama Mataram dan Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI, karena diduga Majelis Hakim yang membuat putusan perdamaian tersebut tidak teliti/lalai dalam membuat akta putusan perdamaian yang merugikan aset pihak ketiga.
Menurut Riki, hal itu bertentangan dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 2016. Oleh karena itu perlu juga diusut pihak Pengadilan Agama Selong, karena dengan sengaja memerintahkan eksekusi padahal diketahui tanah yang dieksekusi dikuasai Inaq Muhrim dkk yang diakui oleh 2 (dua) putusan Pengadilan Negeri Selong tersebut.
Ia menilai, tindakan eksekusi tersebut telah mencoreng rasa keadilan. "Mereka seakan menggunakan "kaca mata kuda" dan tidak menggunakan hati nurani serta kebenaran dalam menjalankan tugasnya. Riki menyebutkan, atas peristiwa itu patut diduga ada permainan atau kepentingan pribadi dalam perkara ini, karena sungguh bertentangan dengan akal sehat.
"Bayangkan saja, orang lain yang berdamai dan mengaku-ngaku di pengadilan, kemudian membuat akta putusan perdamaian, tetapi kemudian tanah atau rumah kita dieksekusi oleh pengadilan, padahal kita tidak pernah menjadi pihak dan tidak tahu menahu adanya perdamaian yang dilakukan orang lain itu," katanya.
"Hal ini tentu dapat mengancam kita semua sebagai masyarakat dan tidak bisa dibiarkan begitu saja. Karena bisa jadi menimpa siapa saja termasuk kita. Karenanya pejabat dan atau petugas seperti itu tidak layak memimpin dan menegakkan keadilan di wilayah Lombok Timur," jelas Riki Riadi.
Ditegaskan Riki, berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Selong No. 33/Pid.Ring/2015/PN.Sel tanggal 20 Maret 2015 dan Putusan Pengadilan Negeri Selong No. 58/Pid.C/2015/PN. Sel. Tanggal 3 Juli 2015 yang keduanya menyatakan para terdakwa (pemohon eksekusi dan termohon eksekusi) melakukan tindak pidana memakai tanah tanpa ijin yang berhak atau kuasanya yang sah.
Sementara Muhiddin, SH selaku kuasa hukum pemohon eksekusi mengatakan, keributan dalam proses dksekusi suatu hal yang biasa. Ada pihak ketiga yang mengklaim peninggalan warisan, tapi hal ini sudah ingkrah berdasarkan putusan pengadilan tahun 2019 perdamaiannya Ahli Waris. "Jadi, masing masing mengklaim sesuai putusan yang dilaksanakan berdasarkan keputusan kemudian ada permohonan eksekusi," jelasnya.
Dalam waktu yang bersamaan, Khairil selaku juru sita dari Pengadilan Agama Selong mengatakan, "putusan perdamaian sudah ingkrah makanya kita berani melakukan ekskusi dan ini juga atas perintah ketua pengadilan," paparnya sembari menegaskan, ini adalah gugatan baru dan gugatan lain obyek. Gugatan baru bukan perlawanan dan yang namanya gugatan baru tidak menghalangi pelaksanaan eksekusi," ungkapnya.
Anwar salah satu anggota keluarga dari ahli waris yang juga pengurus LBH untuk keadilan mengatakan dengan tegas, eksekusi ini adalah ekskusi tidak prosedural karena eksekusi yang dilakukan oleh pengadilan tidak memiliki dasar dan ini merupakan perbuatan zalim.
Ia menilai, pihak pengadilan tidak pernah melakukan peninjauan sebelum melakukan ekskusi. "Seharusnya kalau kita mengacu ke regulasi, pihak pengadilan wajib melakukan peninjauan terhadap obyek tanah. Jadi, kami minta jangan melakukan eksekusi," teriak Anwar geram.