Para petani penerima Alsintan saat diperiksa BPKP NTB (foto ist) |
Ketiga tersangka tersebut, yakni berinisial Z, mantan Kepala Dinas Pertanian, mantan anggota DPRD Lotim berinisial S, dan AM yang merupakan pelakasan yang disuruh S membentuk UPJA yang akan diajukan ke Dinas Pertanian Kabupaten Lombok Timur
Pengacara mantan DPRD Lombok Timur, Suhardi SH dalam rilisnya menyampaikan, pada proyek yang bersumber dari bantuan Direktorat Jenderal (Dirjen) Prasarana dan Sarana Pertanian pada Kementerian Pertanian tahun Anggaran 2018 itu, kliennya sama sekali tidak pernah memperoleh keuntungan maupun manfaat dari peristiwa hukum tersebut.
Terlebih, secara faktual kliennya dalam peristiwa hukum ini hanya sebagai pengusul dan bukan sebagai penerima manfaat maupun sebagai pejabat pengadaan. Bahkan, dalam peristiwa ini, tersangka disebut sama sekali tidak memiliki niat jahat.
“Niat jahat dalam rumpun common law sistem dikenal dengan an act is not criminal in the absence of a guilty mind atau dalam bahasa Latin disebut dengan actus non est reus, nisi mens sit rea. Yang juga berlaku dalam rumpun civil law sistem, yang dalam praktek hukum pidana, niat jahat sebagai kesalahan (schuld) dapat dinilai sebagai geen straf zonder schuld beginsel yang dimaknai sebagai tiada pidana tanpa kesalahan,” terangnya dalam rilis, Rabu malam, 5 Oktober 2022.
Pengacara dari Platonic Law Firm itu, mengaku kliennya sejak proses sosialisasi terhadap program pemerintah pusat kepada kader PDI Perjuangan di Kabupaten Lombok Timur, justru ikut mendorong terbentuknya UPJA Lemor Maju di Desa Suela, Kecamatan Suela dan UPJA Cahaya Pelita di Kecamatan Pringgabaya.
Bahkan, sampai dengan proses terdistribusikan alsintan pada kelompok penerima sasaran oleh Dinas Pertanian setempat, justru sama sekali tidak pernah memperoleh keuntungan maupun manfaat dari peristiwa hukum tersebut.
“Apa yang dilakukan oleh klien kami, semata-mata dalam upaya untuk mendorong akses alat pertanian bagi kelompok tani serta sebagai bentuk tanggung jawab moral dalam kapasitasnya sebagai anggota DPRD Kabupaten Lombok Timur,” ujarnya.
Ia mengatakan, jika merujuk kaidah hukum yang terdapat di dalam Pasal 373 huruf e UU Nomor 17 Tahun 2014 MPR, DPR dan DPD RI, bahwa anggota DPRD kabupaten/kota selalu penyelenggara negara memiliki kewajiban untuk memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat melalui mekanisme pembentukan kelompok tani.
Bahkan sebagaimana diamanahkan UU Nomot 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani secara tegas disebutkan jika Petani berkewajiban bergabung dan berperan aktif dalam Kelembagaan Petani seperti Kelompok Tani, Gabungan Kelompok Tani, Asosiasi Komoditas Pertanian, dan Dewan Komoditas Pertanian Nasional.
Suhardi menegaskan, langkah yang dilakukan kliennya, adalah semata-mata dalam upaya menjalankan perintah UU dalam kapasitas sebagai anggota DPRD Kabupaten Lombok Timur untuk memperjuangkan peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam mengakses alat pertanian.
Baca juga: Kejari Tetapkan 3 Tersangka Kasus Alsintan
“Tapi, jika langkah itu, justru dipandang sebagai suatu peristiwa hukum yang menyebabkan kerugian negara senilai Rp 3 miliar lebih, sebagaimana Laporan Hasil Audit Perhitungan Kerugian Keuangan Negara Nomor PE.03 / SR / LHP – 290 / PW 23 / 5 / 2002 tanggal 19 Juli 2022 Tentang Audit Perhitungan Kerugian Keuangan Negara, kami tetap menghormati dan menghargai proses penegakan hukum yang sedang dijalankan oleh Kejaksaan Negeri Kabupaten Lombok Timur,” jelasnya.
Hanya saja, lanjut Suhardi, sebagai bentuk dan sikap hukum terhadap sangkaan ini, pihaknya telah menempuh upaya keberatan maupun banding administratif terhadap lahirnya Laporan Hasil Audit Perhitungan Kerugian Keuangan Negara yang menjadi rujukan Kejari Lotim menetap status tersangka itu.
Padahal secara faktual, seluruh alat mesin pertanian tersebut telah terdistribusi dan diterima oleh penerima manfaat. Yakni, tiga Usaha Jasa Alsintan (UPJA) dan sebanyak 21 kelompok tani penerima manfaat yang berada di Kabupaten Lombok Timur.
“Upaya keberatan dan banding administratif, sudah kami tempuh secara formil, sebagai bentuk penolakan terhadap perhitungan nilai kerugian negara yang dikeluarkan oleh BPKP Provinsi NTB yang kemudian dijadikan dasar bagi Penyidik Kejaksaan Negeri Kabupaten Lombok Timur dalam memperhitungkan nilai kerugian negara,” katanya.