Samsul Hadi |
Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024 tinggal menghitung hari. Beberapa tahapan pun sudah dimulai. Di beberapa pinggir jalan utama kita akan disuguhkan gambar calon yang ingin maju menjadi anggota legislative, presiden maupun kepala daerah. Walaupun kita ketahun ada jeda waktu anatra pemilihan legislative dan pemilihan kepala daerah.
Pemilihan umum tahun 2024 masih merujuk pada Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum. Namun, Tidak diubahnya Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum akan menjadikan kondisi Pemilu Serentak 2024 kurang lebih sama dengan Pemilu 2019. Padahal, Pemilu 2019 bukan tanpa cela, ada beberapa isu krusial yang masih muncul diantaranya adalah pemenuhan hak memilih kelompok rentan yang masih perlu diperhatikan, persoalan keterwakilan perempuan, transparansi laporan dana kampanye dan pembiayaan pemilu, penataan beban penyelenggara pemilu, dan perbedaan pengaturan UU Pemilu dan Pilkada.
Beberapa peneliti juga menyebutkan bahwa terdapat dua problem utama pemilu di Indonesia. Pertama adalah sektor regulasi atau prosedural. Regulasi pemilu dibuat tidak setara antara partai besar dan partai kecil, partai baru dan partai lama, atau politisi perempuan dan laki-laki. Sisi penyelenggaraan juga lebih rumit dan kompleks, sementara dari hasil pemilu belum menghasilkan komposisi politik yang memperkuat representasi politik dan sistem presidensial.
Problem kedua adalah soal substansi dari pemilu. Terjadi diskoneksi antara partisipasi selama pemilu dan partisipasi pasca-pemilu. Pemilu serentak berhasil menjadi stimulan politik untuk meningkatkan partisipasi pemilih secara agregat, namun tidak memberikan pengaruh positif terhadap kecerdasan politik pemilih. Selain itu beberapa tantangan demokrasi elektoral saat ini seperti biaya politik yang mahal dan praktik politik uang, mobilisasi politik identitas, diskoneksi hubungan antara pemilih dan partai politik atau kandidat, rendahnya akuntabilitas representasi politik, dan reduksi peran masyarakat hanya sebagai voters, bukan demos.
Lalu seperti apa tantangan pemili di Nusa Tenggara Barat (NTB)?. Tantangan pemilu di NTb tidak akan jauh berbeda dengan Nasional. Walaupun secara konteks local. Hal ini dikarenakan politik local di NTB sangat dipengaruhi oleh politik secara nasional. Baik secara penyelenggaraan maupun secara hasil.
Majunya teknologi informasi juga sangat berpengaruh terhadap bagaimana cepatnya sebauh informasi sampai kepada masyarakat. Kemajuan teknologi ini pun digunakan secara maksimal oleh beberapa peserta pemilu. Baik dalam bentuk pepartaian maupun secara pribadi-pribadi calon.
Penulis mencoba menyederhanakan tantangan pemilu tahun 2024 di NTB dalam bentuk tiga hal yakni masalah makro, masalag teknis, dan masalah SDM ad hock. Masalah makro yaitu adanya ketentuan dalam UU pemilu dan pilkada yang multitafsir membuat penyelenggara rentan dipersoalkan secara etik bahkan pidana. ini yang akhirnya ada yang ke DKPP dan pengadilan pidana.
Selanjutnya yaitu permasalahan teknis. Permasalahan teknis ini pun ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian bersama yaitu pertama irisan tahapan antara pemilu dan pilkada. Kedua kesulitan akses jaringan teknologi informasi di berbagai daerah terutama wilayah Indonesia timur. Ketiga, kendala geografis di daerah yang terisolir, dan keempat yakni keterbatasan waktu rekapitulasi penghitungan suara dan pelaksanaan pemungutan suara ulang (PSU).
Sebut saja dalam IT adjudikasi yang bersifat video conference agak sulit di beberapa daerah di NTB padahal pada saat ini kemajuan teknologi menjadi sebuah kewajiban yang mutlak dilakukan. Belum lagi pengalaman tahun kemarin pada saat terjadinya pandemi seperti ini yang video conference bisa dilakukan.
Selanjutnya, permasalahan Sumber Daya Manusia (SDM) ad hoc yaitu kesulitan rekruitmen SDM adhoc dan kapasitas SDM adhoc dalam melaksanakan persiapan dan pelaksanaan pungut hitung. Namun dengan melihat permasalahan tersebut harus diikuti oleh sebuah strategi yang jitu. Strategi dan antisipasi yang dilakukan. Strategi pertama yang harus dilakukan yakni pengaturan jeda waktu yang proporsional antara pemilu dan pilkada. Ini juga yang harus dihitung dengan benar, kalau ada putaran kedua bagaimana.
Strategi kedua yaitu sosialisasi yang efektif seluruh jenis pemilu dan pilkada, ketiga penyamaan persepsi antarpenyelenggara baik KPU, Bawaslu, dan DKPP dengan melakukan identifikasi potensi masalah teknis dan hukum serta kerangka penyelesaiannya, dan keempat
optimalisasi sarana pengawasan Bawaslu dan pengawasan partisipatif.
Itulah yang sering kita sebut tripartit untuk membahas permasalahan yang ada pada tiga lembaga penyelenggara ini dan bawaslu selalu ikut serta dalam acara tersebut. Untuk itu penguatan SDM pengawas pemilu, menggalakan Sekolah Kader Pengawasan Partisipatif (SKPP), dan mengintensifkan koordinasi antarpenyelenggara dan antara penyelenggara dengan intansi penegak hukum pemilu lainnya yang berfokus pada identifikasi potensi masalah teknis dan hukum serta kerangka penyelesaiannya.
Ke depan kita tidak bangga dengan penanganan pelanggaran administrasi yang banyak misalnya, pelanggaran-pelanggaran yang kecil misalnya salah pemasangan baliho tidak usahlah masuk dalam pelanggaran adminitrasi cukup diselesaikan di lapangan melalui penyelesaian sengketa antara peserta dan penyelenggara. Namun dengan segala strategi antisipasi yang dilakukan bersama semua pihak akan menghasilkan pemilu yang berkualitas. Tetap untuk kemajuan daerah bersama.