Dr. Muhamad Ali, M.Si |
Menanggapi dinamika itu, salah seorang kader NWDI sekaligus pengamat ekonomi politik NTB Dr Muhamad Ali, M.Si mengatakan, politik dengan mengedepankan kesukuan sudah tidak menarik dan kurang relevan karena era sekarang ini sudah bukan bicara primordialisme yang cenderung membuat masyarakat terbelakang.
"Apalagi pernyataan itu datang tokoh-tokoh yang semestinya menjadi pemersatu dan merawat kebinekaan kita berbangsa dan bernegara. Lebih lebih di era revolusi industri 4.0 sekarang ini," tegas Muhamad Ali, Ahad (21/04/2024).
Ia mencontohkan pernyataan Ketua Umum Desak Datu NTB H Lalu Winegan dalam sebuah video yang tersebar melalui media sosial di momen Idul Fitri sangat tidak pas, bahkan dinilai dapat memecah persatuan dan menciderai demokrasi.
Dalam pernyataan itu, Winengan mengeluarkan pernyataan bahwa dukungan TGB dan NWDI kepada pasangan Zul-Rohmi Jilid II dalam pemilihan gubernur NTB 2024 adalah tindakan yang "menggadaikan suku dan bangsa Sasak".
"Jadi, beberapa pihak melihat hal itu sebagai tindakan yang mencederai esensi dari Idul Fitri, yaitu mempererat tali silaturahim serta bersifat rasis, berpotensi memecah belah bangsa, dan tidak demokratis," ujarnya
Menurutnya, Idul Fitri yang seharusnya menjadi momen untuk meningkatkan persatuan dan kesatuan, menjadi latar belakang yang kontras dengan isi pernyataan tersebut.
"Dalam konteks ini, sangat penting untuk mengkaji ulang politisasi kesukuan dan pernyataan politik yang memecah belah dapat berdampak pada fabric sosial yang seharusnya kita rajut lebih erat pada saat-saat seperti lebaran," tegasnya.
Lebih lanjut ia melihat pernyataan mengenai tudingan bahwa dukungan kepada Zul-Rohmi Jilid II merupakan penggadaian suku dan bangsa Sasak, perlu dipahami dalam demokrasi. Setiap individu atau kelompok memiliki kebebasan untuk mendukung kandidat pilihan mereka.
"Mengutip Prof. Dr. Mahfud MD dalam bukunya 'Politik Hukum di Indonesia' menyatakan bahwa 'Demokrasi memberikan ruang bagi ekspresi politik yang beragam dan ini adalah esensi dari kebebasan berpolitik yang harus dihormati'," ulasnya.
Menurut doktor jebolan Universitas Negeri Malang itu, bahwa dukungan dari TGB dan organisasi NWDI, jika itu terjadi seharusnya dilihat sebagai bagian dari dinamika demokrasi, bukan sebagai tindakan pengkhianatan kesukuan.
Jadi, pernyataan yang dikeluarkan saat Idul Fitri yang seharusnya menjadi waktu untuk bersatu, malah memunculkan potensi perpecahan. Seperti yang diungkapkan oleh Imam Malik dalam bukunya 'Al-Muwatta', menyebutkan hari raya adalah momen untuk mempererat tali silaturahim dan memperbaiki hubungan yang retak, bukan waktu untuk memperdalam konflik."
"Dalam konteks ini, semua pihak, termasuk Lalu Winengan, harus merenungkan kembali dampak dari pernyataan politik yang bisa memecah belah komunitas dari etnisitas yang ada di NTB, karena pilkada ini bukan bicara suku," tegasnya.
Ia bahkan melihat, tuduhan rasis dalam politik adalah masalah serius yang harus ditanggapi dengan hati-hati. Rasisme dalam bentuk apa pun adalah ancaman terhadap keharmonisan sosial dan integrasi nasional.
Oleh karena itu, setiap klaim atau pernyataan harus didasarkan pada bukti yang kuat dan bukan sekadar retorika politik. Seperti yang dikatakan oleh Desmond Tutu, "Kita adalah pelangi bangsa-bangsa, dan rasisme dalam segala bentuknya adalah pengkhianatan terhadap kita semua," urainya.
Menurutnya, mengakhiri pernyataan yang kontroversial dengan refleksi yang mendalam dan komitmen bersama untuk mempromosikan dialog dan pengertian lintas kesukuan dan politik dalam masyarakat adalah kunci.
"Sebagai masyarakat, kita harus mengejar politik yang mempersatukan, yang berfokus pada pembangunan bersama dan keberlanjutan budaya yang inklusif, dan bukan politik yang memecah belah," terangnya.
Oleh karena itu, di momen Idul Fitri ini, Ali mengajak untuk mengambil kesempatan ini memperkuat tali silaturahim dan menciptakan diskursus politik yang lebih inklusif dan harmonis yang menghargai keberagaman dan memajukan kesejahteraan untuk semua warga NTB dan lebih luas lagi, bangsa Indonesia.