Okenews.net-– Sudah lebih dari dua tahun lamanya Rusia dan Ukraina terlibat perang pasca Presiden Rusia, Vladimir Putin melancarkan serangan ke Ukraina pada 24 Februari 2022.
Kremlin mengklaim pertempuran tersebut merupakan Operasi Militer Khusus ke negara tetangganya yang dipimpin Volodymyr Zelenskyy tersebut. Ini merupakan pertempuran paling berdarah Rusia dan Ukraina pasca aneksasi Krimea pada 2014 silam.
Tidak dapat diperkirakan secara akurat jumlah korban tewas selama lebih dari dua tahun bertempur. Terdapat banyak klaim berbeda soal korban jiwa. Ukraina menyebut sebanyak 31 ribu tentara mereka tewas dalam perang. Ini mematahkan tudingan Putin yang sebelumnya menyebut tentara Ukraina luka atau tewas berkisar 150 hingga 300 ribu jiwa dan belum termasuk warga sipil.
Di sisi yang berbeda, tentara Rusia tewas di Ukraina diklaim mencapai 45,123 orang. Meskipun demikian terdapat perbedaan klaim korban tewas.
Banyaknya korban jiwa yang berjatuhan membangkitkan rasa ngeri terhadap perang.
Lembaga Kajian Sosial - Politik Mi6 menilai pertempuran tersebut sangat berisiko dengan eskalasi perang yang lebih meluas lagi menjadi Perang Dunia ketiga.
“Ini akan memicu eskalasi pada perang dunia ketiga. Tentu saja tidak hanya merugikan kedua belah pihak (Rusia – Ukraina), tetapi banyak negara termasuk Indonesia,” ujar Direktur Mi6, Bambang Mei Finarwanto, Selasa, 7 Mei 2024.
Pria yang akrab disapa Didu itu meminta kedua belah pihak menahan diri. Putin dan Zelensky disarankan untuk berkepala dingin dan berlapang hati untuk terus memperbanyak negosiasi damai.
“Kedua pimpinan negara tersebut harus berlapang dada untuk terus melakukan negosiasi damai. Tentunya negara-negara lain ikut aktif menjaga perdamaian dunia,” kata dia.
Kiamat akan Tiba
Didu mengatakan perang Rusia ini bisa membawa malapetaka yang buruk untuk bumi. Kiamat bisa saja tiba jika perang terus menerus terjadi.
Meskipun Didu berharap kiamat tiba lebih cepat melihat dinamika dunia semakin buruk, namun dia berubah pikiran melihat banyaknya korban jiwa yang berjatuhan akibat perang.
“Tapi dipikir-pikir ternyata kiamat itu ngeri. Enggak enak, lebih baik berdamai saja, jangan sudah perang-perang itu, kok ruwet perang terus,” ujarnya.
“Coba Pak Putin dan Bro Zelensky itu ngopi di Tuwa Kawa (sebuah kafe di Mataram), kan enggak ruwet mikirin perang terus. Perang kan udah boros, enggak hemat, menyeramkan lagi. Adoh berhenti sudah perang-perang itu,” kata dia.
Lombok Jadi Solusi
Didu menawarkan agar negosiasi damai antara Rusia dan Ukraina dapat dilakukan di Lombok. Meskipun terlihat unik, namun dia meyakini negosiasi damai di Lombok dapat membuat kedua pemimpin yang tengah bertikai tersebut dapat mengakhiri konflik.
“Negosiasi damai bisa dilakukan di Lombok. Indonesia bisa menawarkan diri untuk menjadi negosiator damai dan dilaksanakan di Lombok yang kini sudah mulai mendunia dengan berbagai kegiatan internasional yang hadir,” ujarnya.
Lombok bukan kali pertama menjadi lokasi untuk perjanjian internasional. Pada 13 November 2006, Lombok menjadi lokasi perjanjian antara Indonesia dan Australia soal kerjasama keamanan negara, atau yang dikenal dengan Lombok Treaty atau Kesepakatan Lombok.
Kesepakatan tersebut pada substansinya meliputi kerjasama bidang pertahanan, penegakan hukum, kontra terorisme, intelijen, keamanan maritim, keselamatan pembangunan dan keamanan pencegahan senjata pemusnah massal. Perjanjian tersebut juga berisi tidak saling campur tangan masalah internal negara, seperti masalah Papua yang saat ini masih dihadapi Indonesia.
“Dengan kesepakatan tersebut sampai sekarang hubungan Indonesia dan Australia langgeng. Ini bisa menjadi contoh dan bisa ditiru menjadi lokasi untuk mengakhiri konflik Rusia-Ukraina,” kata Didu.
Dengan Lombok sebagai tempat perjanjian atau negosiasi damai, Mi6 meyakini perang Kremlin dan Kiev akan segera berakhir.
Siap Jadi Negosiator
Setali tiga uang dengan Didu, Sekretaris Mi6, Lalu Athari Fathullah mengatakan Mi6 akan siap menjadi negosiator damai antara Rusia dan Ukraina jika pemerintah tidak siap.
Athar meminta agar Indonesia kembali melobi kedua negara untuk menjadi juru damai yang sebelumnya sempat buntu.
“Jika pemerintah tidak sanggup, Mi6 juga siap untuk menjadi juru damai,” ujarnya meyakinkan.
Dia mengatakan, dengan Lombok menjadi lokasi negosiasi atau perundingan damai maka akan berefek pada nama Lombok yang semakin besar lagi, dan meningkatkan sektor pariwisata Lombok.
“Mungkin nanti kalau Pak Putin dan Pak Zelensky di Lombok bisa negosiasi sambil berwisata. Pikiran mereka akan lebih fresh dan bisa berdamai dengan nyaman di sini (Lombok),” kata Athar.