![]() |
Dr. Muhamad Ali, M.Si |
TGB dengan keteguhan visi memulai transformasi itu melalui kerja sistematis: konsultasi dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penyusunan roadmap berbasis regulasi, hingga pembentukan Dewan Pengawas Syariah. Pada 17 September 2018, NTB resmi menjadi provinsi pertama yang seluruh Bank Pembangunan Daerah (BPD) berubah menjadi bank syariah penuh. Sebuah capaian yang kala itu membanggakan.
Namun seperti banyak perubahan besar lainnya, idealisme itu mulai terkikis seiring waktu. Beberapa tahun setelahnya, Bank NTB Syariah mulai didera persoalan: dugaan kelebihan bayar dalam proyek pembangunan kantor baru pada masa kepemimpinan Gubernur Dr. Zulkieflimansyah, isu kredit macet, serta pemanfaatan ruang kantor untuk kegiatan berbau politis, yang diduga difasilitasi dari biaya operasional bank. Semua ini mencuat menjelang proses suksesi gubernur.
Di tengah ketidakpastian itu, sang direktur utama bank memilih mengundurkan diri, tak lama setelah gubernur sebelumnya kalah dalam kontestasi politik. Proses pengunduran diri itu berlangsung cepat, rapi, dan minim evaluasi publik. Lalu, ketika gubernur baru Dr. Lalu Muhammad Iqbal dilantik, masalah yang lebih serius menyeruak: Bank NTB Syariah mengalami serangan siber besar menjelang lebaran. Sebagai respon atas insiden ini, audit forensik segera diumumkan, membuka tabir bahwa bank ini memang tengah rapuh.
Audit forensik dan pembentukan panitia seleksi (pansel) untuk manajemen baru adalah langkah penting. Namun sebagai warga NTB yang mencintai lembaga ini, sulit untuk mengabaikan kesangsian terhadap integritas proses seleksi yang sedang berlangsung.
Salah satu anggota panitia seleksi (Pansel) —seorang akademisi yang sejak lama dikenal memiliki pandangan politik tajam terhadap pemerintahan, baik pada era TGB maupun sesudahnya—pernah bersurat kepada seluruh bupati dan walikota di NTB, sebagai pemegang saham Bank NTB Syariah, untuk mendorong digelarnya Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Luar Biasa guna mengganti manajemen, jauh sebelum pemilihan gubernur.
Kini, setelah menjadi anggota pansel, ia mengeluarkan pernyataan bahwa seluruh jajaran manajemen lama tidak boleh mengikuti seleksi. Pernyataan ini, pernah dilontarkan sebelum audit selesai dan evaluasi dilakukan, tampak tendensius dan mengundang pertanyaan besar tentang objektivitas.
Konteks tersebut di atas, tentu sah bagi siapapun memiliki pandangan kritis. Namun dalam posisi selektif seperti ini, netralitas dan objektivitas bukan lagi pilihan—melainkan keharusan. Jika proses seleksi sejak awal telah dibayangi preferensi personal yang kuat, maka apapun hasilnya, ia akan tampak cacat di mata publik.
Mengacu pandangan tersebut, yang terancam bukan hanya kredibilitas pansel, tapi nilai dasar yang dulu melahirkan Bank NTB Syariah: kejujuran, keberanian, dan semangat pelayanan. Tanpa komitmen menjaga integritas, syariah akan 'terluka' bahkan bisa jadi tinggal nama. Dan bank yang dulu jadi simbol perubahan, hanya akan jadi bangunan megah dengan ruh yang telah pergi.
Penulis menyampaikan ini bukan untuk menuduh, melainkan untuk mengingatkan. Reformasi sejati lahir dari keberanian membuka diri, mengakui kesalahan, dan memperbaiki dengan kejujuran. Audit harus dibuka ke publik. Pansel harus disucikan dari bias personal. Dan seleksi harus dilakukan dengan asas keadilan, bukan penghakiman. Karena jika tidak, harapan yang dulu dibangun dengan idealisme, akan runtuh hanya karena kompromi sesaat.
#Opini ini ditulis oleh Dr. Muhamad Ali, M.Si (Dosen Pascasarjana Universitas Hamzanwadi)